Senin, 25 Oktober 2021

MEMUNGUT DERMA LALU MENGAMBIL SEBAGIAN UNTUK DIRINYA SENDIRI

Oktober 25, 2021

 S. Bolehkah orang yang memungut derma untuk mendirikan masjid, madrasah, atau untuk bantuan fakir miskin dan yatim, mengambil sebagian untuk dirinya sendiri? 

J. Boleh! asal tidak melebihi dari upah sepantasnya atau sekedar mencukupi kebutuhannya, apabila orang itu kafir, lain halnya kalau si pemungut dema tadi seorang kaya, maka tidak boleh, sebagaimana firman Allah: Apabila si orang itu kaya maka hendaknya menjaga diri (jangan mengambil) dan apabila si orang itu kafir maka hendaknya mengambil sekedarnya secara baik. 



Keterangan, dalam kitab: 

  1.  Tuhfah al-Muhtaj                                                                                                                                                 Disamakan dengan wali anak yatim, seperti yang telah dikemukakan, orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk membebaskan tawanan. Jika ia orang yang miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua hal yang paling sedikit, yaitu biaya nafkah atau mengambil Ujrah al-mitsli (upah standar).

         Menurut al-Syirwani yang demikian itu termasuk pula orang yang mengumpulkan harta untuk membantu menyelamatkan orang miskin yang terbelit hutang atau orang yang terzalimi yang dirampas hartanya. Pendapat tersebut adalah pendapat yang baik dan (memang) harus seperti itu, sebagai pendorong dan penyemangat dalam perbuatan mulia ini. Demikian pendapat Syyaid Umar. Saya (al-Syirwani) berependapat: " Begitu pula orang yang mengumpulkan hartanya untuk membangunn masjid ". (Maksud salah satu di antara dua hal), yaitu nafkah dan ujrah al-mitsl (upah standar). 

MEMAKAI PEN DARI EMAS

Oktober 25, 2021

 S. Bagaimana hukumnya memakai pen emas? Haram ataukah tidak?

J. Hukum memakai pen emas adalah haram! Karena termasuk larangan karena termasuk emmakai bejana dari emas, seperti tempat celak (mirwad), demikian ini menurut mazhab Syafi'i, tetapi dalam mazhab Hanafi, terdapat pemdapat yang memperbolehkannya, oleh karenanya, para pemakai supaya mengikuti pendapat tersebut (mazhab Hanafi) supaya terhimdar dari hukum haram. 



Keterangan, dalam kitab: 

  1. Fath al-Qarib dan Hasyiyahal-Bajuri                                                                                                                Dan tidak diperbolehkan di luar keadaan darurat bagi laki-laki dan perempuan memakai bejana dari emas dan perak. Di kalangan mazhab Hanafi terdapat pemdapat yang memperbolehkan penggunaan tempat kopi (yang terbuat dari emas dan perak), walaupun pendapat yang lebih banyak dijadkan pedoman (mu'tamad) di kalangan mereka adalah haram.                                                                          Maka bagi mereka yang diuji harus mempergunakan bejana dari emas dan perak tersebut sebagaimana yang banyak terjadi, maka sebaiknya, ia harus mengikuti (pendapat mazhab Hanafi).                     (Maksud tanpa dharurat), jika menggunakan bejana emas dan perak seperti mirwad itu suatu keharusan (dharurat) srbagai alat bercelak, agar menjadi terang menurut keterangan dokter yang 'adl riwayah (adil dalam periwayatan), maka boleh menggunakannya. 

        

Selasa, 19 Oktober 2021

MEMAKAI DASI, CELANA PANJANG, SEPATU, TOPI

Oktober 19, 2021

 S. Bagaimana pendapat Muktamar tentang orang yang memakai celana panjang, dasi, sepatu, dan topi? Sedang orang itu orang Indonesia, haramkah demikian itu, karena dianggap meniru orang kafir? 

J. Apabila memakainya itu sengaja meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya, maka hukum orang itu menjadi kafir (dengan pasti). Apabila sengaja tujuan orang tersebut turut menyemarakkan hari raya dengan tidak mengingat kekafirannya, maka hukumnya tidak kafir tetapi berdosa. Apabila tidak sengaja meniru sama sekali, tetapi hanya berpakaian sedemikian, maka hukumnya tidak dilarang tetapi makruh. 

Keterangan, dalam kitab: 



  1. Bughyah al-Mustarsyidin                                                                                                                                      Hasil kesimpulan dari pendapat yang disebutkan oleh para ulama tentang berbusana dengan busana orang kafir adalah: pertama, jika dalam berbusana tersebut ada kecenderungan pada agama mereka (kafir) dan ingin serupa dengan mereka dalam syiar kekafiran, atau bisa berjalan bersama mereka ketempat-tempat peribadatan mereka, maka ia menjadi kafir. Kedua, jika tidak bermaksud yang demikian itu, namun hanya bermaksud mirip saja dengan mereka dalam syiar hari raya atau bisa bermuamalah dengan mereka dalam muamalah yang diperbolehkan maka ia berdosa. Ketiga, jika ia kebetulan saja tanpa tujuan apapun, maka hukumnya makruh, sama seperti pengikat selendang dalam shalat. 

JUAL BELI MERCON UNTUK BERHARI RAYA

Oktober 19, 2021

 S. Bagaimana jual beli petasan (mercon-Jawa) untuk merayakan hari raya atau Pengantin dan lain-lain sebagainya? 

J. Jual beli tersebut hukumnya sah! karena ada maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan tersebut. 



Keterangan, dalam kitab: 

  1. Fath al-Mu'in dan I'anatut-Thalibin                                                                                                                    Adapun mempergunakan atau menyalurkan pada sekolah dan sebagai jalur kebaikan, makanan, pakaian, dan hadiah yang tidak layak baginya maka tidak termasuk mubadzir menurut pendapat yang lebih benar, karena dalam hal demikian itu, ia bertujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang. Oleh karenanya, mereka mengatakan: " Tiada berlebihan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam berlebihan ". 

  2. Fath al-Qarib                                                                                                                                                       Jual beli sesuatu yang tampak riil itu boleh, jika memang memenuhi berbagai persyaratan, seperti barang yang dijual itu suci, bisa dimanfaatkan, bisa diserahkan dan bagi yang bertransaksi mempunyai kuasa (terhadap barang tersebut). 

  3. Hasyiyah al-Jamal                                                                                                                                         Dan yang benar dalam Tallil, bahwa rokok itu sesuai dengan tujuan dibelinya yaitu dihisapnya, dan mengingat rokok itu termasuk barang mubah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya maka, mengkonsumsinya berarti memanfaatkannya dengan cara yang mubah.                                                              Mungkin penjelasan yang terdapat dalam Hasyiyah al-Syeikh (al-Ramli), berangkat dari hukum haram. Atas dasar ini, harus dibedakan antaraa yang banyak dan yang sedikit, seperti telah diketahui dari penjelasan yang kami sebutkan. Karena itu, ia hendaknya mengkaji ulang. 

Membeli Barang Seharga Rp 0. 50,-, dengan Menyerahkan Uang Satu Rupiah

Oktober 19, 2021

 S. Bagaimana pendapat Muktamar terhadap orang yang membeli barang seharga Rp. 0.50,- (setengan rupiah) dengan menyerahkan uang sebesar Rp. 1,- (satu rupiah) kemudian ia menerima barang dengan pengembalian Rp. 0,50,-, salahkah jual beli tersebut atau tidak? Karena merupakan jual beli " Muddujwah " (campuran). 



J. Jual beli tersebut hukumnya sah! Menurut Imam Syafi'i, dan sebagian ulama Maliki. 

Keterangan, dalam kitab: 

  1. Syams al-Isyraq                                                                                                                                                   Al- Daqusi berkata dengan menukil dari gurunya al-'Adawi dan al-Dardiri, bahwa dari sebagian ulama memperbolehkan pertukaran tersebut dalam satu riyal atau setengahnya atau pula seperempatnya karena darurat, sebagaimana diperbolehkan menukar satu riyal dengan uang logam perak recehan, demikian pula separuhnya atau seperempatnya karena darurat, walaupun kaidah mengarah pada pelarangan. 

  2. Al-Umm                                                                                                                                                              Seandainya penjual menjual baju kepada seorang pembeli dengan harga separuh dinar, kemudian pembeli membeli uang satu dinar, dan si pemilik baju kemudian memberinya setengah dinar emas, maka yang demikian itu tidak mengapa, karena (penyerahan setengah dinar dari penjual) ini merupakan penjualan yang baru, bukan penjualan yang pertama. 

Senin, 18 Oktober 2021

MEMBELI BARANG YANG BELUM DIKETAHUI SEBELUM AKAD

Oktober 18, 2021

S. Bagaimana pendapat Muktamar tentang membeli barang yang belum diketahui sebelum akad, seperti: Milk dalam kaleng, bawang merah dalam tanah, kelapa dalam sabutnya, sahkah jual beli semacam ini atau tidak?  

J. Jual beli tersebut hukumnya sah! Menurut Imam Syafi'i, Maliki, dan Hanafi, Tetapi Imam Syafi'i dalam Qaul Jadid menganggap tidak sah! 



Keterangan, dalam kitab: 

  1. Mirqah Shu'ud al-Tashdiq 

     Tentang sesuatu yang tidak disukainya sebelum akad karena sudah khawatir adanya tipu daya yang membahayakan, sesuai dengan hadis riwayat Muslim: "Bahwa Rasullullah Saw. Melarang jual beli al-Gharar" yakni jual beli sesuatu barang yang mengandung suatu unsur tipuan. 

      Menurut al-Hishni keabshahan jual beli tersebut ada dua pendapat, pertama sah. pendapat ini dianut oleh tiga imam mazhab dan sebagian dari imam kita, yaitu al-Baghwi dan al-Rauyani. Kedua, menurut qaul jadid jelas tidak sah, karena mengandung upaya penipuan. 

JUAL BELI "SENDE" Menjual barang perjanjian sebelum akad

Oktober 18, 2021

 S.Bagaimana pendapat Muktamar tentang jual beli "sende" yaitu: Menjual barang perjanjian sebelum akad, bahwa barang tersebut akan dibeli lagi dengan harga tertentu, sahkah atau tidak jual beli semacam ini? Dan wajibkah pembeli menetapi janji. 

J. Jual beli tersebut hukumnya sah, asal perjanjian tersebut tidak dalam akad atau tidak dalam majelis khiyar, dan bagi pembeli wajib menetapi janji dan jual beli tersebut namanya "bai'ul 'uhdah" (jual beli dengan janji) 



Keterangan, dalam kitab: 

  1. Tarsyih al-Mustafidin 

     Ketahuilah! bahwa jual beli bertempo yang terkenal di Hadhramaut dan populer di Mekkah dengan sebutan bai' al-nas, bai 'uddah wa amanah adalah sah jika berlangsung dari muthlaq al-tasharruf (orang yang boleh membelanjakkan hartanya secara mutlak) dan perjanjian tersebut tidak disebutkan dalam akad dan setelahnya, yakni dalam masa khiyar

     Bentuknya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Fatawa Ibn Hajar, kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sepakat untuk menjual sesuatu, dengan catatan jika si penjual kelak datang kembali dengan (membawa uang) senilai dengan barang yang dijualnya, maka si pembeli harus mengembalikan barang tersebut dan mengambil kembali uang penjualan semua. Kemudian keduannya melakukan transaksi tanpa menysaratkan (penjual kembali barang yang sudah dijual tersebut kepada si penjual) pada waktu akad... Jika kesepakatan itu terjadi di luar akad, maka si pembeli harus menepati kesanggupan dan janjinya, dan ketika si penjual memberikan kepada si pembeli nilai harga pada waktu yang disyaratkan, maka si pembeli harus membatalkan akad jual belinya dan menerima harga (uang dari si penjual).

Sabtu, 16 Oktober 2021

MENERIMA GADAI DENGAN MENGAMBIL MANFAATNYA

Oktober 16, 2021

 S. Bagaimana hukum orang yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya, misalnya, sebidang tanah yang digadaikan, kemudian di ambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad diadakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat atau dengan perjanjian tertulis, tetapi tidak di baca waktu akad, hal demikian itu termasuk riba yang dilarang atau tidak? 

J. Dalam masalah ini ada tiga pendapat dari ahli hukum (ulama):                                                                     a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente)                                                         b. Halal: sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa             adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat                                                                                             c. Syubhat: (Tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat. 

Adapun Muktamar memutuskan bahwa, yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram). 



Keterangan, dari kitab:                                                                                                                                        1. Asybah Wa al-Nazha'ir                                                                                                                                Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu di anggap sama dengan menjadikannya syarat, sehingga akad gadainya rusak? Jumhur ulama berpendapat: "Tidak diposisikan sebagai syarat." Sedangkan al_Qaffal berpendapat: "Ya (diposisikan sebagai syarat).                                                                                                                                                                                                                                   2. Fath al-Mu'in dan I'annah al-Thalibin                                                                                                          Diperbolehkan bagi si pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan (suatu kelebihan) dari peminjam, seperti pengembalian yang lebih dalam ukuran atau sifatnya, dan yang lebih baik pada pinjaman yang jelek, asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai persyaratan, bahkan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu (mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya). 

             Adapun peminjam dengan syarat adanya keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman maka hukumnya fasid, sesuai dengan hadis: " Semua peminjaman yang menarik sesuat manfaat (keuntungan bagi pemberi pinjaman) maka termasuk riba.

             Dengan ini diketauhi, bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dal;am akad. Sedangkan jika keduanya si peminjam dan pemberi secara kebetulan (melakukan praktik tersebut), dan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad tersebut tidak rusak(boleh).

MENGKHITANKAN ANAK SETELAH BEBERAAPA HARI KELAHIRANNYA

Oktober 16, 2021

 S. Bagaimana hukumnya mengkhitankan anak sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya? Boleh atau tidak? Sedangkan dalam kitab Khazinatul Asrar diterangkan bahwa mengkhinatkan anak sebelum 10 tidak boleh. 

J. Mengkhitankan sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya itu boleh. Adapun sunatnya adalah sesudah berumur 7 hari atau 40 hari atau 7 tahun. 



Keterangan, dalam kitab:    

   1. Mauhibah Dzi al-Fadhl                                                                                                                                          Dalam kitab al-Tuhfah disebutkan, jika mengakhirkan khitan melampaui hari ketujuh maka dilaksanakan pada hari ke empat puluh (dari kelahirannya), kalau tidak maka pada tahun ke tujuh yang merupakan waktu diperintahkannya untuk melaksanakan shalat. Adapun disebutkan dalam kitab Khazinatul Asrar, maka dipahami jika si anak itu lemah tidak mampu berkhitan kecuali sesudah berumur sepuluh tahun sesuai dengan pendapat para pakar. 

Jumat, 15 Oktober 2021

TARI-TARIAN DENGAN LENGGAK-LENGGOK

Oktober 15, 2021

S. Bagaimana hukum tari-ta,rian dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai.                                  J. Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-kewanitaan bagi kaum laki-laki, dan gerak kelaki-lakian bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram. 



Keterangan, dalam kitab:                                                                                                                                  1. Ithaf Sadah al-Muttaqin                                                                                                                                       Para ulama berbeda pendapat tentang tarian, sebagian ada yang memakruhkan seperti Imam al-Qaffal dan al-Rauyani dalam kitab al-Bahr. Demikian halnya menurut ustadz Abu Manshur, memaksakan tarian bisa serasi dengan irama itu hukumnya makruh. Mereka berargumen bahwa nyanyian itu termasuk la'ibun wa lahwun (permainan sendau gurau) yang dimakruhkan.                                          Sebagai ulama yang lain berpendapat bahwa tarian itu hukumnya mubah menurut al-Faurani dalam kitab al-Umdah, nyanian iyu pada dasarnya adalah mubah demikian pula bermain drum, tarian dan yang semisalnya.                                                                                                                                                      Menurut Imam al-Haramain, tarian itu tidak haram karena hanya sekedar gerakan oleh gerak lurus dan goyang, akan tetapi jika itu terlalu banyak, dapat merusaknya kehormatan diri. Pendapat ini senada dengan al-Mahali dalam kitab al-Dhakair, Ibn al-Imad al-Saharawadi, Imam al-Rafi'i, sang pengarang (al-Ghazali) dalam kitab al-Wasiith, yang mantap dengan pendapat tersebut, dan Ibn Dam.                                                                                                                                                                                            Mereka beragumen dengan dua hal: hadits dan qiyas. Adapun hadistnya adalah yang sebagaimana telah lalu dari hadits Aisyah tentang tarian orang-orang Hasby, demikian hanya dengan hadits Ali tentang gerak lompatnya serta yang dilakukkan oleh Ja'far dan Zaid. adapun qiyasnya adalah, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Haramain (tarian) merupakan beberapa olah gerak lurus dan goyang, sama dengan gerak-gerakan yang lainnya.                                                                                    Menurut sebagian ulama tarian tersebut harus dirinci, jika dalam tarian itu ada unsur ketidakopanan daan lemah gemulai, maka hukumnya makruh. Jika unsur tersebut tidak ada, maka tarian itu boleh (tidak apa-apa). Inilah yang dikutip oleh Ibn Abi Dam dan Syeikh Abu Ali Bin Abu Hurairah.                                                                                                                                                                      A-Halimi juga mengutip seperti itu dalam kitab Manhajnya. Mereka berargumen jika bahwa dalam tarian itu ada kecenderungan untuk bergaya perempuan, padahal orang yang berpura-pura dan bergaya perempuan itu telah dilaknat. Kelompok ulama lain berpendapat bahwa tarian yang mengandung unsur ketidakopanan dan lemah gemulai, maka hukumnya haram. Jika unsur tersebut tidak ada, maka hukumnya tidak haram. Demikian yang disampaikan oleh Imam Rafi'i dalam kitab Syarah al-Shagir dan beliau meriwayatkan statemen diatas dalam Syarh a-Kabir dari Imam Halimi, dan al-Jili meriwayatkan statemen tersebut dalam kitab al-Muharrar. 

   2. Mauhibah Dzi al-Fadhl.                                                                                                                                      "Allah melaknat laki-laki yang bergaya menyerupai wanita, dan wanita yang bergaya menyerupai laki-laki. Al-Azizi menyatakan: " laki-laki dilarang menyerupai wanita dalam berpakaian ataupun sikap. Begitu juga sebaliknya (perempuan dilarang menyerupai laki-laki), karena hal itu termasuk mengubah ciptaan Allah Swt.

Followers

Copyright © Islamic. All rights reserved. Template by CB Blogger